Sabtu, 14 November 2015

 KH. Imam Yahya Mahrus Dan KH. Maimon Zubair
   Ahmad Dhani Berkunjung Ke Kediaman KH Imam Yahya Mahrus

Oleh: Khairul Mufid
   Pada tahun 1948 hingga 1949 terjadi sebuah agresi Belanda yang dikenal sebagai “aksi polisional kedua”. Di saat itu, KH. Mahrus Aly menghimbau seluruh santri Lirboyo untuk mengungsi ke beberapa tempat termasuk di bawah kaki gunung Klotok, Mojokudi, sementara Nyai Hj. Zainab diungsikan bersama dzurriyah putri lainnya di kediaman KH. Marzuqi Dahlan. Selang beberapa saat setelah santri-santri kembali ke Lirboyo, lahirlah seorang bayi mungil dari rahim Nyai Hj. Zainab yang diberi nama Imam Yahya.
Beliau lahir bak seorang pemenang di saat suasana genting menyelimuti langit Kediri. Memang belum jelas tentang kepastian tanggal dilahirkannya Imam Yahya. Namun menurut Agus Reza (putra pertama Kiai Imam Yahya), dari surat-surat yang ada, tertera beliau lahir pada 01 Agustus 1949. KH. Mahrus (ayahanda Kiai Imam) memberi nama Imam Yahya yang diambil dari nama pemimpin Yaman tahun 40-an, Imam Yahya yang berjuluk Amir al-Muslimin, seorang ahli politik, strategi dan ilmu alat (Nahwu-Sharaf). Tentu, harapannya kelak Imam Yahya menjadi sosok seperti Imam Yahya, Sang Amir al-Muslimin.
   Masa kecil dan pendidikan keluarga 
     Kiai Imam Yahya lahir di tengah-tengah keluarga pesantren. Paman, kakek serta ayahandanya merupakan ulama-ulama besar, sehingga kehadiran beliau adalah harapan besar bagi perkembangan dunia pesantren. Di masa kecilnya, Kiai Imam mendapat pengawasan penuh dari KH. Mahrus Aly dan Ibunda Nyai Zainab. Tempaan ilmu agama terus ditanamkan oleh KH. Marus Aly dalam kepribadian Kiai Imam. Setiap malam Kiai Imam sorogan al-Qur’an kepada ayahandanya. Tak jarang, dengan nada tegas KH. Mahrus Aly membenarkan pelafalan makhraj Kiai Imam, “Kalau Hamzah itu harus mangap (membuka mulut) sembari mengepalkan tangan beliau ke mulut kiai Imam. Pernah juga suatu ketiak saat jalan-jalan bersama sang ayah, Kiai Imam melihat buruh angkut lalu sang ayah berkata “Lihatlah kepada orang-orang itu yang kerjaannya mengangkut barang-barang, cobal kalau mereka memiliki ilmu yang tinggi maka mereka pasti akan memiliki profesi yang lebih layak”, dengan maksud agar Kiai Imam lebih bersemangat dalam menimba ilmunya. Demikianlah KH. Mahrus Aly terus mendidik putranya agar menjadi sosok yang disiplin, tegas, berani serta memiliki motivasi tinggi dalam belajar.
   Bisikan menuju Sarang. 
      Ketika mulai menginjak usia 20-an, Kiai Imam sering diajak KH. Mahrus Aly untuk “nderekaken” (mengikuti) ke manapun beliau pergi. Sekitar tahun 1968, dalam sebuah perjalanan di derah Trowulan, Mojokerto, tepat di depan sebuah lokasi –yang konon- bekas petilasan kerajaan Majapahit, Kiai Imam mendengar suara orang tak dikenal, entah dari mana asalnya, “Awakmu sesuk mangkato mondok neng Sarang, ojo ngomong sopo-sopo, sangu sak cukupe, ojo kondo sopo-sopo” (Besok, berangkatlah nyantri ke Sarang, jangan bilang siapa-siapa, bawalah bekal secukupnya, jangan bilang siapa-siapa).
       Keesokan harinya beliau langsung berangkat ke Sarang dengan membawa bekal 25 perak, yang dikira oleh ibu serta pamannya, Kiai Imam kabur dari rumah dan menjalani profesi sopir atau kernet seperti yang pernah dilakukannya. KH. Marzuqi Dahlan prihatin atas kaburnya Kiai Imam. Keluarga sangat panik dan khawatir tentang keberadaan Kiai Imam. Usaha pencarin untuk menemukan keberadaan beliau dilakukan ke berbagai penjuru tanah Jawa sampai Jakarta. Setelah tiga bulan tidak ditemukan, kabarpun datang, bahwa Kiai Imam sudah mondok di Sarang.
Awal perjalanan Kiai Imam menimba ilmu di Sarang, beliau bertemu dengan KH. Zubair (ayahanda KH. Maimun Zubair). Anehya, Kiai Imam malah langsung disuruh menemui dan ikut KH. Maimun. Padahal Kiai Imam bermaksud nyantri kepada KH. Zubair. Akhirnya Kiai Imam diterima sebagai santri pertama KH. Maimun Zubair.
      Beberapa bulan di Sarang, Kiai Imam belum mengikuti salah satu pengajian yang diadakan di pondok. Keadaan demikian membuat beliau gusar dan malu kepada Kiai Maimun. Kemudian beliau memutuskan untuk mengikuti ngaji di kelas 5, setelah dua minggu beliau tidak betah karena tidak paham dengan pelajaran kelas 5. Tapi anehnya, beliau malah mau pindah naik ke kelas 6. Baru 2 minggu juga Kiai Imam tidak betah di kelas 6 dan mau naik ke kelas 1 Tsanawi, begitu seterusnya samapi kelas 3. Setiap kelas yang Kiai Imam ikuti pengajiannya, tidak lebih dari satu bulan. Setelah tamat dari tsanawiyah, Kiai Imam diajak ngaji kitab Nashaih al-Ibad oleh Kiai Maimun hingga khatam. Kitab lain yang pernah dikhatamkan bersama beliau adalah Alfiyah ibn Malik, Syarh Ibn Aqil, dsb.
      Menurut KH. Abdullah Ubab (putra KH. Maimun), Kiai Imam juga pernah ngaji di hadapan Kiai Zubair kira-kira setahun. Kiai Imam pernah mengakui, “Aku seneng ngaji bahkan aku iso ngaji ya di sini”. Menurut Kiai Ubab, Kiai Imam dalam memuliakan Kiai Maimun sangat luar biasa, juga kepada keluarga kiai, guru-gurunya bahkan orang kampung sekitar pondok, ia pandai mencari perhatian orang-orang di sekitanya, seolah menjadi bakat dan pertanda beliau akan menjadi ulama yang merakyat.
   Menuntut ilmu di Makkah dan Madinah
       Untuk menambah wawasan, KH. Mahrus Aly memerintahkan Kiai Imam agar melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Tepat tahun 1974, Kiai Imam berangkat menuntut ilmu ke Saudi Arabia bersaman dengan sang ayah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun di Makkah, kemudian beliau belajar di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah. Beliau banyak belajar dari para ulama terkemuka di sana, di antaranya Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh Yasin al-Padani, Dr. Muhammad Abduh al-Yamani, dsb. Berbagai macam ajaran dari berbagai aliran agama Islam telah beliau pelajari sehingga wawasan tentang aliran hingga perbedaan pendapat dalam ulama Islam semakin luas. Meski demikian, doktrin pesantren tak membuat Kiai Imam bergeser dari paham aswaja. Mungkin dengan nuansa pembelajaran seperti itulah, sikap beliau semasa hidup selalu mengedepankan tasamuh atau toleransi ketika berinteraksi dengan siapa saja, dari kalangan apa saja, bahkan dengan komunitas non muslim sekalipun.
      Tahun 1979, di Saudi Arabia terjadi gerakan teror dari komunitas oposisi yang disebut dengan “Hawadits Juhaiman”. Ketika itu Kiai Imam ingin melihat baku hantam antara dua kubu yang berseteru. Saat mengangkat kepala untuk melihat dari kajauhan, tanpa diduga peluru panas melesat dan mengenai pelipis mata sebelah kiri. Kiai Imam langsung dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan operasi, dan Alhamdulillah Kiai Imam terselamatkan walaupun sempat beredar berita kepada keluarga melalui media cetak bahwa Kiai Imam meninggal dunia.
   Menikah dengan putri mursyid thariqat
       Waktu terus bergulir, tiba saatnya di mana kiai Imam menikah. Beliau dijodohkan dengan Ning Zakiyah Miskiyah, putri KH. Muhammad Utsamn al-Ishaqi (Mursyid Thaqirat al-Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah Surabaya). Beliau menikah di saat Kiai Imam libur kuliah pada tahun 1978. Sebenarnya waktu itu beliau masih dalam tahap belajar di bangku kuliah Universitas Islam Madinah. Setelah sebulan menikah, Ibu Nyai Zakiyyah ditinggal selama satu tahun oleh Kiai Imam untuk melanjutkan kembali studinya di Madinah. Pada tahun 1979 sang ayah meminta Kiai Imam pulang ke Indonesia setelah dirasa luka tembak di pelipis sembuh. Mulailah Kiai Imam menahkodai rumah tangga dengan Ning Zakiyah di sebuah rumah kecil yang sederhana dengan satu kamar. Tak ada rasa keluh kesal dari keduanya, hingga pernikahan ini melahirkan enam keturunan, 4 anak laki-laki (Gus Reza, Gus Iing, Gus Nabil, Gus Izzul) dan 2 anak putri (Ning Etna, Neng Ochi). Kiai Imam adalah sosok yang disegani oleh keluarga, Beliau terkenal tegas dalam mendidik, walaupun kepada putra-putrinya sendiri. Di balik ketegasannya, Kiai Imam memiliki sifat adil dan bijaksana, beliau tak membedakan putra-putrinya dalam segala hal bahkan uang saku.
   Mendirikan kamar-kamar untuk “teman mukim”
       Pada tahun 1985, KH. Mahrus Aly wafat. Semenjak itu, Kiai Imam melaksanakan amanat dan wasiat sang ayah, termasuk mendidik santri, beliau memulainya dengan membantu mengurusi pondok HMC dan mengembangkan perguruan Tinggi Universitas Islam Tribakti (UIT). Kiai Imam bersama keluarga menempati sebuah rumah yang memang sudah mulai dibangun semasa hidup sang ayah.
      Ndalem (red Rumah) timur merupakan awal mula Kiai Imam memiliki santri. Awal mulanya hanya empat santri, namun sedikit demi sedikit para santri berdatangan untuk bermukim. Waktu itu, beliau belum berniat mendirikan pesntren. Kiai Imam hanya berniat menjadikan santri-santri sebagai teman mukim, dan membangunkan kamar-kamar untuk mereka. Hingga akhirnya –dengan segala pengorbanan- wasiat sang ayah untuk membeli tanah di depan dan di utara rumah beliau laksanakan untuk dibangun sebuah asrama yang sekarang menjadi gedung Hidayatul Mubatadi’in Putra, gedung MA dan MTs HM Tribakti serta SMK al-Mahrusiyah. Awalnya, di tahun 1988, pesantren tersebut diberi nama Ibnu Rusyd diambil dari nama kecil Kiai Mahrus, kemudian berubah menjadi HM. Putra dan berganti lagi menjadi al-Mahrusiyah (hingga sekarang).
       Dalam kepengasuhannya, Kiai Imam sangat dekat dengan santri, tak heran bila semua santri akan merasa sebagai anak kandung ketika berhadapan/berinteraksi dengan beliau. Kiai Imam membimbing santri dengan penuh keikhlasan dan ketekunan. Beliau memimpin kegiatan sorogan kitab kuning pukul 21.00. Beliau akan bertindak tegas pada siapapun yang terlihat loyo atau kurang bersemangat dalam mengaji. Untuk menempa spiritual para santri, menjelang 02.00 dini hari, beliau juga selalu membangunkan santri untuk melakukan qiyam al-lail dan istighatsah. Cara Kiai Imam mendidik santri adalah dengan member contoh terlebih dahulu barulah santri dituntut mandiri setelahnya seperti salat jamaah, istighatsah, tahlil, dsb. Berkat ketekunan dan ketegasan Kiai Imam, al-Mahrusiyah sekarang mempunyai tiga cabang dengan berbagai macam unit pendidikan, baik formal maupun non formal.
   Kiprah di dunia akademik
       Sepeninggal Kiai Mahrus Aly, Kiai Imam mendapatkan amanat untuk mengembangkan perguruan tinggi yang telah dirintis sang ayah sejak 1966 yaitu Universitas Islam Tribakti yang sekarang menjadi Institut Agama Islam Tribakti (IAIT). Saat menjabat rektor, Tribakti hanya memiliki tidak lebih dari dua gedung dengan beberapa ruang dan mahasiswa.
Untuk mengembangkan Tribakti, beliau sangat aktif membuka koneksi denan pihak luar, inilah keistimewaan Kiai Imam. Beliau mampu berinteraksi dengan dunia pesantren dan dunia akademisi. Ketika di pondok, belia tak ubahnya kiai yang utun dalam mendidik santri. Ketika di kampus, beliau layaknya seorang intelek, sering mengisi kegiatan seminar, workshop, diskusi, pelatihan, sarasehan, dll. Di luar itu, beliau juga sibuk dalam kepengurusan RMI Jawa Timur, hingga tak jarang beliau sering terjun ke beberapa pesantren untuk berkonsolidasi. Maka dalam kehidupannya, Kiai Imam selalu mempertimbangkan aspek agama dan sosial. Di tangan Kiai Imam, Tribakti di sekitar tahun 1986 berkembang pesat dengan tambahan beberapa sarana prasarana dan fakultas yang awalnya hanya ada Tarbiyah dan Syari’ah, sebut saja fakultas Dakwah, Ekonomi, Hukum, Bahasa dan Pertanian.
   Menghadap Sang Khaliq
      Pada tahun 2004, Kiai Imam divonis oleh dokter mengidap diabetes tinggi, meski demikian aktifitas selalu dijalani dengan tabah. Hingga awal tahun 2011, kondisi beliau semakin drop dan dilarikan ke RS. Gambiran Kediri. Kemudian dokter menyarankan agar Kiai Imam dilarikan ke Graha Amerta Surabaya. Beliau terkena kanker paru-paru yang telah menjalar ke saluran pernafasan. Semenjak itu, beliau sering keluar masuk rumah sakit. Berbagai macam cara pengobatan ditempuh termasuk cara tradisional Shin Sei hingga penyakitnya berangsur-angsur pulih. Melihat kondisi yang semakin membaik, beliau kembali aktif dalam berbagai kegiatan, mengurusi pondok, kampus serta menemui tamu setiap harinya hingga kondisi kesehatan terlalaikan.
      Menjelang akhir 2011, penyakit kanker beliau kambuh dan bertambah parah. Beliau meminta untuk dirujuk ke RS. Graha Amerta Surabaya. Sehari sebelum ke RS, beliau menyempatkan untuk mengunjungi lahan perluasan pondok di ds. Ngampel, Mojoroto. Setelah mengukur sepetak tanah, beliau bilang kepada mandor tukang “ini tempat kuburan saya”. Dan benar, setelah dirawat di Surabaya, tanggal 14 januari 2012 beliau dipanggil oleh Allah SWT. Mulanya beliau merasa kesakitan di bagian perut hingga sang istri mengeroki punggung beliau karena dirasa masuk angin. Beliau berencana untuk pulang ke Lirboyo tercinta, sesaat kemudian beliau pamit untuk tidur, akan tetapi beliau tertidur untuk selamanya.

Sumber:http://majalahlangitan.com/kh-imam-yahya-mahrus-supel-dalam-bergaul-tegas-dalam-mendidik/

0 komentar:

Posting Komentar