Rabu, 21 Desember 2016

     BAB I
PENDAHULUAN
A.                   Latar Belakang Masalah
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA) merupakan salah satu kelompok atau sekte dalam agama islam  yang berfingsi memahami nilai-nilai dalam islam yang seharusnya ada. ASWAJA ini sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, tapi sebelum masuk sebagai salah satu masyarakat, sebagian orangg di Indonesia  berkecipung terlebih dahulu dalam dunia akademika, dunia kampus.

Di kampus, peran ASWAJA begitu menjadi tumpuan dasar dalam mengamalkan ilmu, terutama ke ilahiyahan juga ke manusiaan. Sebelum diamalkan tentunya harus tahu terlebih dahulu bagaimana penyebaran ASWAJA dalam ranah Kampus. Kalau di kampus yang basisnya agama maka tentu begitu mudah menciptakan suasana ASWAJA di dalamnya. Beda halnya kalau kampus yang basisnya umum. Tentu diperlukan strtegi lain yang berbeda, demi kemaksilan penyebaran dan eksistensi ASWAJA.


B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa macam rumusan masalah yang terdapat didalamnya:
1.       Pengertian dan sejarah ASWAJA?
4.      Strategi Penyebaran Faham Ahlussunnah Wal-Jamaah di Kampus-Kampus Umum.?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian ASWAJA
Menurut bahasa, Ahlussunnah Wal jamaah (ASWAJA) terdiri atas tiga kata yaitu :
1.    Ahl (Ahlun ) berarti “golongan” atau “pengikut”.
2.    Al-Sunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
3.    Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”.
4.    Al-Jama’ah berarti “kumpulan” atau “ kelompok”[1].
Sedangkan menurut istilah ASWAJA adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya[2].
Menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi. Gagasan tersebut berisi:
- Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits
- Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
- Menetapkan adanya sifat-sifat Allah - Al-Quran adalah Qodim bukan hadits
- Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir [3]
Definisi seperti di atas adalah konsepstual ASWAJA secara mendasar. Karena itu bisa definisikan sendiri dengan lebih lengkap dan konkrit. Tentunya selama tidak menyimpang  dengan tujuan utama itu.
Jadi, penggunaan ASWAJA sangatlah universal tidak khusus kepada suatu golongan atau sekte. ASWAJA bisa disandarkan ke Golongan apa saja selama masih konsisten dengan ajaran Nabi muhammad beserta Sahabatnya. Ketika sudah menyampingkan asas ke-Nabian dan ke-sahabatan berarti itulah yang menyimpang dari ASWAJA dan tidak termasuk di dalamnya.
Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah di  banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang bayak kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan  pengertian yang beragam.[4]
Sedangkan mengenai dasar hukum ASWAJA, yang harus ada di dalamnya ada empat dasar:
1.     Al Quran
Dalil Alquran adalah dasar yang paling kuat diantara lainya untuk menentukan hukum islam, karena Alquran merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
2.     Hadist Nabi
Dasar pokok yang kedua setelah Alquran adalah Hadist Nabi Muhammad SAW yang berupa suri tauladan dan anjuran-anjuran Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (ketetapan) Nabi.
3.     Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid mengenai hukum, ijma’ baru digunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara, setelah tidak ditemukan dalilnya dari Alquran dan Hadist.
4.     Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui hukumnya.[5]
Dalam perkembangan ASWAJA, terjadi sebuah pemilahan antara ASWAJA sebagai sebagai Mazhab dan ASWAJA sebagai Manhaj. Untuk itu saya akan mengupas di sini:
1.         ASWAJA Sebagai Mazhab
ASWAJA sebagai mazhab yaitu kelompok yang secara akidah mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu Al-hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) atau aliran Imam Abu Al-Manshur Al-Maturidi (w. 333 H). Dalam soal-soal ‘ubudiyah mengikuti dari salah satu imam mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (w. 150 H), Malik ibn Anas (w. 179 H), Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204 H) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 230 H). dalam ber-tasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi, yakni Abu Al-Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid A;-Ghazali (w. 505 H)[6].
2.      ASWAJA sebagai Manhaj
Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif, eklektik dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj dan tokoh-tokoh muda lainnya. Dalam sejarah PMII, kata independen bisa disebut kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini, perdebatan tentang independensi organisasi mempunyai sejarah paling panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan kontroversi. Karena persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati (Jatim) 14 juli 1971 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi yang pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi Murnajati). Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba menjadi pengawal gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hanya hanya saja PMII lebih mengembangkan Aswaja sebagai Ideologi elektik dan adaptif demi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagaian besar kader PMII yang lahir dari kalangan pesantren masih memegang hirarki yudisial dalam sistem bermadzhab meskipun terkesan liberal dalam berfikir. Meskipun demikian penggunaan metodologi keilmuan seperti filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat dibutuhkan untuk menterjemahkan sumber hukum tersebut dalam konteks kekinian. Dengan pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga Ulil Abshar sering menjadi referensi bagi kader-kader PMII. Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan Aswaja diterjemahkan sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika sejarah pemikiran dan pergerakan. Konsepsi Aswaja yang mengakui pemikiran yang filosofis yang sosiologis. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari hasil perjuangan para kyai muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia menawarkan definisi baru mengenai Aswaja sebagai manhaj. Secara sempurna definisi Aswaja menurutnya adalah; “ Manhaj Al-fikr Al-Diny al Syiml ‘Ala Syu’un Al Hayat wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i’tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam politik). Dari paparan diatas sekiranya dapat diambil kesimpulan bahwa, PMII lebih condong untuk memakai Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai madzhab. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa aswaja akan menjadi paradoks ketika Aswaja hanya dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi seluruh umat islam. Bukan milik organisasi atau institusi tertentu.


B.       Strategi Penyebaran Faham ASWAJA di Kampus-Kampus Umum
Ketika bebicara masalah strategi, tentunya harus ada konsep secara matang dan terarah. Dalam hal ini ketika ada kampus umum yang belum teraplikasikan dan membumingkan ASWAJA-nya. Maka perlu beberapa langkah yang harus dilakukan.
1.              Membiasakan diskusi ke- ASWAJAAN di Kampus
Hal ini dapat menarik simpatisan yang begitu antusias dari mahasiswa yang belum tersentuh hatinya. Sehingga bisa mengajak atau bahkan ikut diskusi dengan sendirinya melalui kesadarannya.
2.              Melakukan pendekatan
Artinya, setiap pengurus sering-sering melakukan pendekatan persuasi, tidak terlalu formal, atau bahkan dipacari sekalian demi tercapainya tujuan yang lebih subtantif.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Kelompok ASWAJA adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya.
2.      Ada dua strategi agar ASWAJA bisa tersebar di Kampus yang berbasis umum yaitu dengan membiasakan diskusi dan melakukan pendekatan.

  

DAFTAR PUSTAKA

.Nasir, Salahudin A. Pemikiran Kalam Teologi  Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Hasan, Tholhah, Muhammad,  Ahlussunnah wal Jama’ah  Dalam Presepsi dan Tradisi NU, Lantabora Press, 2003.
KH. Muhyiddin Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis.
Zuhri, Muhibbin, Achmad,  Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah. Surabaya : Khalista, 2010
Muntaha, Zaenal, Ke-NU-an Aswaja. Semarang: LP Ma’arif NU, 2011
Siroj, Aqil,  Said, Tasawuf sebagai kritik sosial, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.




[1] Salahudin A. Nasir, Pemikiran Kalam Teologi  Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Hal. 178
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah  Dalam Presepsi dan Tradisi NU, (Lantabora Press, 2003), Hal: 1
[3] KH. Muhyiddin Abdushshomad,Fiqih Tradisionalis, Hal: 14.
[4] Achmad Muhibbin Zuhri,Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah, (Surabaya : Khalista, 2010),Hal: 32.
[5] Muntaha, Zaenal, Ke-NU-an Aswaja, (Semarang: LP Ma’arif NU, 2011), Hal: 05
[6] Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai kritik sosial, (Bandung: Mizan Pustaka), Hal: 411

0 komentar:

Posting Komentar