BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah (ASWAJA) merupakan salah satu
kelompok atau sekte dalam agama islam
yang berfingsi memahami nilai-nilai dalam islam yang seharusnya ada.
ASWAJA ini sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam kehidupan bermasyarakat, tapi sebelum masuk sebagai salah satu
masyarakat, sebagian orangg di Indonesia
berkecipung terlebih dahulu dalam dunia akademika, dunia kampus.
Di kampus, peran ASWAJA begitu menjadi tumpuan dasar
dalam mengamalkan ilmu, terutama ke ilahiyahan juga ke manusiaan. Sebelum
diamalkan tentunya harus tahu terlebih dahulu bagaimana penyebaran ASWAJA dalam
ranah Kampus. Kalau di kampus yang basisnya agama maka tentu begitu mudah
menciptakan suasana ASWAJA di dalamnya. Beda halnya kalau kampus yang basisnya
umum. Tentu diperlukan strtegi lain yang berbeda, demi kemaksilan penyebaran
dan eksistensi ASWAJA.
B. Rumusan
masalah
Dari latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa
macam rumusan masalah yang terdapat didalamnya:
1. Pengertian
dan sejarah ASWAJA?
4. Strategi Penyebaran Faham Ahlussunnah Wal-Jamaah di Kampus-Kampus
Umum.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ASWAJA
Menurut bahasa, Ahlussunnah Wal jamaah (ASWAJA) terdiri
atas tiga kata yaitu :
1. Ahl (Ahlun ) berarti “golongan” atau “pengikut”.
2. Al-Sunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup,
perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
3. Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”.
4. Al-Jama’ah berarti “kumpulan” atau “ kelompok”[1].
Sedangkan menurut istilah ASWAJA adalah mereka yang
mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW. Dan membelanya[2].
Menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti
rumusan yang digagas oleh Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi. Gagasan tersebut
berisi:
- Hukum
Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits
- Mengakui
Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
-
Menetapkan adanya sifat-sifat Allah - Al-Quran adalah Qodim bukan hadits
- Orang
Islam yang berdosa besar tidaklah kafir [3]
Definisi seperti di atas adalah konsepstual ASWAJA
secara mendasar. Karena itu bisa definisikan sendiri dengan lebih lengkap dan
konkrit. Tentunya selama tidak menyimpang dengan tujuan utama itu.
Jadi, penggunaan ASWAJA sangatlah universal tidak
khusus kepada suatu golongan atau sekte. ASWAJA bisa disandarkan ke Golongan
apa saja selama masih konsisten dengan ajaran Nabi muhammad beserta Sahabatnya.
Ketika sudah menyampingkan asas ke-Nabian dan ke-sahabatan berarti itulah yang
menyimpang dari ASWAJA dan tidak termasuk di dalamnya.
Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung
(harfiyah) untuk kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi
pengertian popular tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat
kata al-Sunnah di banyak tempat, akan tetapi
penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi pola hidup manusia,
baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata al-Jama’ah,
tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang bayak kata derivasinya, seperti
jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan pengertian yang beragam.[4]
Sedangkan mengenai dasar hukum ASWAJA, yang harus ada
di dalamnya ada empat dasar:
1.
Al Quran
Dalil Alquran adalah dasar yang paling kuat
diantara lainya untuk menentukan hukum islam, karena Alquran merupakan wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW melalui
perantara Malaikat Jibril.
2.
Hadist Nabi
Dasar pokok yang kedua setelah Alquran
adalah Hadist Nabi Muhammad SAW yang berupa suri tauladan dan anjuran-anjuran
Nabi yang meliputi Aqwal (ucapan), Af’al (perbuatan) dan Taqrir (ketetapan)
Nabi.
3.
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
mengenai hukum, ijma’ baru digunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara,
setelah tidak ditemukan dalilnya dari Alquran dan Hadist.
4.
Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah
yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui
hukumnya.[5]
Dalam perkembangan ASWAJA, terjadi sebuah
pemilahan antara ASWAJA sebagai sebagai Mazhab dan ASWAJA sebagai Manhaj. Untuk
itu saya akan mengupas di sini:
1.
ASWAJA Sebagai Mazhab
ASWAJA sebagai
mazhab yaitu kelompok yang secara akidah mengikuti salah satu dari
aliran Imam Abu Al-hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) atau aliran Imam Abu Al-Manshur
Al-Maturidi (w. 333 H). Dalam soal-soal ‘ubudiyah mengikuti dari salah
satu imam mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (w. 150 H), Malik ibn Anas (w.
179 H), Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204 H) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 230
H). dalam ber-tasawuf mengikuti salah satu dari dua imam besar sufi,
yakni Abu Al-Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid A;-Ghazali
(w. 505 H)[6].
2. ASWAJA sebagai Manhaj
Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif,
eklektik dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja
tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj
dan tokoh-tokoh muda lainnya. Dalam sejarah PMII, kata independen bisa disebut
kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini, perdebatan tentang independensi
organisasi mempunyai sejarah paling panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan
kontroversi. Karena persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati
(Jatim) 14 juli 1971 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi
yang pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi
Murnajati). Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan
teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba menjadi pengawal
gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hanya hanya saja PMII lebih
mengembangkan Aswaja sebagai Ideologi elektik dan adaptif demi terwujudnya
Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagaian besar kader PMII yang lahir dari kalangan
pesantren masih memegang hirarki yudisial dalam sistem bermadzhab meskipun
terkesan liberal dalam berfikir. Meskipun demikian penggunaan metodologi
keilmuan seperti filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat
dibutuhkan untuk menterjemahkan sumber hukum tersebut dalam konteks kekinian.
Dengan pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga
Ulil Abshar sering menjadi referensi bagi kader-kader PMII. Dalam perkembangan
pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan Aswaja diterjemahkan
sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika sejarah pemikiran dan
pergerakan. Konsepsi Aswaja yang mengakui pemikiran yang filosofis yang
sosiologis. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari hasil perjuangan para kyai
muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia menawarkan definisi baru mengenai Aswaja
sebagai manhaj. Secara sempurna definisi Aswaja menurutnya adalah; “ Manhaj
Al-fikr Al-Diny al Syiml ‘Ala Syu’un Al Hayat wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala
Asas Al Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i’tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir
keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip
keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam
permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam
politik). Dari paparan diatas sekiranya dapat diambil kesimpulan bahwa, PMII
lebih condong untuk memakai Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai
madzhab. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa aswaja akan menjadi paradoks ketika
Aswaja hanya dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta
sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi seluruh
umat islam. Bukan milik organisasi atau institusi tertentu.
B.
Strategi Penyebaran Faham ASWAJA di Kampus-Kampus Umum
Ketika bebicara
masalah strategi, tentunya harus ada konsep secara matang dan terarah. Dalam
hal ini ketika ada kampus umum yang belum teraplikasikan dan membumingkan
ASWAJA-nya. Maka perlu beberapa langkah yang harus dilakukan.
1.
Membiasakan diskusi ke- ASWAJAAN di Kampus
Hal ini dapat
menarik simpatisan yang begitu antusias dari mahasiswa yang belum tersentuh hatinya.
Sehingga bisa mengajak atau bahkan ikut diskusi dengan sendirinya melalui
kesadarannya.
2.
Melakukan pendekatan
Artinya, setiap
pengurus sering-sering melakukan pendekatan persuasi, tidak terlalu formal,
atau bahkan dipacari sekalian demi tercapainya tujuan yang lebih subtantif.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Kelompok
ASWAJA adalah mereka yang mengikuti dengan
konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan
membelanya.
2.
Ada dua strategi agar ASWAJA bisa tersebar di Kampus yang berbasis umum
yaitu dengan membiasakan diskusi dan melakukan pendekatan.
DAFTAR PUSTAKA
.Nasir, Salahudin A. Pemikiran Kalam Teologi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Hasan, Tholhah, Muhammad, Ahlussunnah
wal Jama’ah Dalam Presepsi dan Tradisi
NU, Lantabora Press, 2003.
KH. Muhyiddin
Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis.
Zuhri, Muhibbin, Achmad, Pemikiran
KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah. Surabaya :
Khalista, 2010
Muntaha,
Zaenal, Ke-NU-an Aswaja. Semarang: LP Ma’arif NU, 2011
Siroj, Aqil, Said, Tasawuf sebagai kritik sosial,
Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
[2]
Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah
Dalam Presepsi dan Tradisi NU, (Lantabora Press, 2003), Hal: 1
[3] KH. Muhyiddin
Abdushshomad,Fiqih Tradisionalis, Hal: 14.
[4]
Achmad Muhibbin
Zuhri,Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah,
(Surabaya : Khalista, 2010),Hal: 32.
[5] Muntaha,
Zaenal, Ke-NU-an Aswaja, (Semarang: LP Ma’arif NU, 2011), Hal: 05
0 komentar:
Posting Komentar